Langsung ke konten utama

Baca Juga

Bendera One Piece Berkibar di Indonesia: Luffy, Kamu Ngapain di Sini?

Beberapa hari terakhir, media sosial Indonesia mendadak berubah jadi lautan tawa, heran, dan sedikit panik. Soalnya, ada satu tren aneh tapi nyata yang muncul jelang 17 Agustus: bendera One Piece berkibar di mana-mana . Iya, kamu nggak salah baca. Bukan bendera partai, bukan bendera klub bola, tapi bendera bajak laut ala Monkey D. Luffy dan gengnya. Tengkorak bertopi jerami, yang biasa kamu lihat pas Luffy ngomel-ngomel di kapal, sekarang eksis di tiang-tiang rumah warga. Pertanyaannya: ini beneran tren? Atau kru Topi Jerami nyasar ke RW kita? Awalnya cuma satu-dua orang yang nekat masang bendera itu, tapi karena netizen kita punya bakat “copy paste nasional”, akhirnya dalam sekejap mulai bermunculan di mana-mana. Ada yang pasang di truk, ada yang nempel di warung, ada juga yang berdiri gagah berdampingan sama bendera Merah Putih. Kocaknya, ekspresi warga yang lihat itu pun macem-macem, mulai dari yang ngakak, nyinyir, sampai yang mikir, “Eh, ini jangan-jangan pertanda revolusi?” Ta...

Di Balik Pintu Doa



Di sebuah pesantren yang teduh, di bawah langit yang seolah merestui setiap lantunan doa, hiduplah seorang santri bernama Ali. Ia adalah pemuda yang tekun, diamnya adalah lautan tafakur, dan ketekunannya adalah bintang yang bersinar di malam ilmu. Namun, di balik ketaatannya, ada sesuatu yang bergemuruh di hatinya, perasaan yang mulai tumbuh, layaknya tunas yang mengincar cahaya.

Perasaan itu hadir seperti angin yang membawa harum bunga melati, sejak pertama kali ia melihat Fatimah. Seorang santri putri yang tutur katanya selembut embun fajar dan sikapnya sesantun cahaya rembulan. Fatimah bukan hanya dihormati karena kecantikannya, tetapi juga karena ilmunya yang luas dalam mengurai makna-makna kitab kuning. Ali kerap mencuri pandang, bukan untuk melihat, tetapi untuk belajar dari kesederhanaan dan kebijaksanaannya.

Namun, Ali paham bahwa cinta di pesantren adalah batasan yang suci. Ada adab yang tak boleh terlanggar, ada aturan yang harus dijaga. Maka, ia memilih jalan yang paling sunyi namun paling penuh harapan mendoakan Fatimah dalam sujudnya.

Suatu hari, semesta mempertemukan mereka dalam keadaan yang tak terduga. Saat itu, Fatimah tengah mengambil air di sumur pesantren setelah selesai mengaji. Guci tanah liat yang ia bawa hampir terlepas dari tangannya. Ali, yang kebetulan melewati halaman itu, refleks melangkah cepat dan menahan guci itu sebelum pecah ke tanah.

Sejenak, mata mereka bertemu, namun hanya sekilas. Fatimah segera menundukkan pandangannya, sementara Ali membatu dalam diam. Hanya detik-detik yang berlalu, tetapi cukup untuk membuat degup jantung Ali menggema di dada. "Maaf..." ucap Fatimah lirih, lalu segera berlalu meninggalkan Ali yang masih berdiri dengan debar yang belum reda. Pertemuan singkat itu semakin menguatkan keyakinan Ali bahwa perasaannya bukan sekadar kekaguman, melainkan sesuatu yang lebih dalam.

Setiap malam, di sepertiga malam terakhir, Ali berbisik dalam diamnya. Ia tidak memohon agar Fatimah menjadi miliknya, melainkan agar jika memang takdir menyatukan mereka, maka Allah meridai pertemuan itu. Ia pasrah, tetapi bukan berarti ia berhenti berusaha.

Lalu, takdir seakan ingin mengujinya. Kabar yang berhembus di pesantren seperti badai yang merobohkan harapannya, Fatimah telah menerima lamaran seorang pria dari keluarga terpandang. Dunia Ali seakan runtuh, hatinya menggigil dalam ketidakpastian. Namun, ia tetap berserah. Ia belajar bahwa cinta bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang mengikhlaskan.

Namun, semesta rupanya memiliki cara lain. Fatimah menolak lamaran itu. Dengan lembut, ia berkata kepada ustazah bahwa hatinya hanya ingin berlabuh kepada seseorang yang tulus, yang mengerti ilmu bukan sekadar bacaan, tetapi juga amalan.

Ali merasa ada cahaya yang menyelinap di hatinya. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan penuh keberanian, ia mengetuk pintu kyai, meminta restu agar dapat melamar Fatimah. Sang kyai tersenyum bijak, "Jika niatmu suci, langit pasti mendengar. Mintalah kepada Allah dengan keyakinan."

Hari demi hari, Ali semakin mengasah dirinya. Ia ingin menjadi seseorang yang pantas, bukan hanya untuk Fatimah, tetapi juga untuk agamanya. Hingga suatu hari, doa-doanya akhirnya mengetuk gerbang takdir. Kyai memanggilnya, membawa kabar yang membuat dadanya bergetar, orang tua Fatimah menerima lamarannya.

Air mata Ali jatuh, bukan karena kelemahan, tetapi karena keharuan. Ia mengerti kini, bahwa cinta sejati adalah yang diperjuangkan dalam diam, disematkan dalam doa, dan diamanahkan kepada takdir. Kini, ia dan Fatimah akan berjalan bersama, dalam cinta yang diberkahi dan dalam ilmu yang akan mereka amalkan sepanjang hayat.

Hari-hari setelah pernikahan mereka adalah lembaran baru yang penuh makna. Mereka tidak hanya menjadi sepasang suami istri, tetapi juga sahabat dalam belajar dan berjuang. Bersama, mereka membuka halaqah kecil di desa, mengajarkan kitab kuning kepada santri-santri muda yang haus akan ilmu.

Fatimah, dengan kelembutan dan kecerdasannya, menjadi pendamping yang senantiasa mendukung Ali. Ia menyadari bahwa cinta yang mereka bangun bukan sekadar ikatan dunia, tetapi juga perjalanan menuju surga. Mereka saling menguatkan dalam setiap cobaan, dalam setiap tantangan, dan dalam setiap sujud yang mereka panjatkan bersama.

Ali, yang dulu hanya bisa memandang Fatimah dari kejauhan, kini melihatnya setiap pagi, dalam senyum yang menjadi cahaya bagi hari-harinya. Dan di sepertiga malam, mereka masih berdoa bersama, bukan lagi dalam harapan yang mengawang, tetapi dalam rasa syukur yang mendalam. Sebab, doa yang tulus selalu memiliki cara sendiri untuk kembali pada hati yang memanjatkannya.

Komentar

Posting Komentar