Cari Blog Ini
Blog ini adalah dunia kecil tempat cerpen, puisi, dan artikel mencerminkan perjalanan hati dan pikiran. Temukan perspektif baru dalam setiap kata
Baca Juga
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Di Balik Pintu Doa
Di
sebuah pesantren yang teduh, di bawah langit yang seolah merestui setiap
lantunan doa, hiduplah seorang santri bernama Ali. Ia adalah pemuda yang tekun,
diamnya adalah lautan tafakur, dan ketekunannya adalah bintang yang bersinar di
malam ilmu. Namun, di balik ketaatannya, ada sesuatu yang bergemuruh di hatinya,
perasaan yang mulai tumbuh, layaknya tunas yang mengincar cahaya.
Perasaan
itu hadir seperti angin yang membawa harum bunga melati, sejak pertama kali ia
melihat Fatimah. Seorang santri putri yang tutur katanya selembut embun fajar
dan sikapnya sesantun cahaya rembulan. Fatimah bukan hanya dihormati karena
kecantikannya, tetapi juga karena ilmunya yang luas dalam mengurai makna-makna
kitab kuning. Ali kerap mencuri pandang, bukan untuk melihat, tetapi untuk
belajar dari kesederhanaan dan kebijaksanaannya.
Namun,
Ali paham bahwa cinta di pesantren adalah batasan yang suci. Ada adab yang tak
boleh terlanggar, ada aturan yang harus dijaga. Maka, ia memilih jalan yang
paling sunyi namun paling penuh harapan mendoakan Fatimah dalam sujudnya.
Suatu
hari, semesta mempertemukan mereka dalam keadaan yang tak terduga. Saat itu,
Fatimah tengah mengambil air di sumur pesantren setelah selesai mengaji. Guci
tanah liat yang ia bawa hampir terlepas dari tangannya. Ali, yang kebetulan
melewati halaman itu, refleks melangkah cepat dan menahan guci itu sebelum
pecah ke tanah.
Sejenak,
mata mereka bertemu, namun hanya sekilas. Fatimah segera menundukkan
pandangannya, sementara Ali membatu dalam diam. Hanya detik-detik yang berlalu,
tetapi cukup untuk membuat degup jantung Ali menggema di dada.
"Maaf..." ucap Fatimah lirih, lalu segera berlalu meninggalkan Ali
yang masih berdiri dengan debar yang belum reda. Pertemuan singkat itu semakin
menguatkan keyakinan Ali bahwa perasaannya bukan sekadar kekaguman, melainkan
sesuatu yang lebih dalam.
Setiap
malam, di sepertiga malam terakhir, Ali berbisik dalam diamnya. Ia tidak
memohon agar Fatimah menjadi miliknya, melainkan agar jika memang takdir
menyatukan mereka, maka Allah meridai pertemuan itu. Ia pasrah, tetapi bukan
berarti ia berhenti berusaha.
Lalu,
takdir seakan ingin mengujinya. Kabar yang berhembus di pesantren seperti badai
yang merobohkan harapannya, Fatimah telah menerima lamaran seorang pria dari
keluarga terpandang. Dunia Ali seakan runtuh, hatinya menggigil dalam
ketidakpastian. Namun, ia tetap berserah. Ia belajar bahwa cinta bukan hanya
tentang memiliki, tetapi juga tentang mengikhlaskan.
Namun,
semesta rupanya memiliki cara lain. Fatimah menolak lamaran itu. Dengan lembut,
ia berkata kepada ustazah bahwa hatinya hanya ingin berlabuh kepada seseorang
yang tulus, yang mengerti ilmu bukan sekadar bacaan, tetapi juga amalan.
Ali
merasa ada cahaya yang menyelinap di hatinya. Ia tak ingin menyia-nyiakan
kesempatan ini. Dengan penuh keberanian, ia mengetuk pintu kyai, meminta restu
agar dapat melamar Fatimah. Sang kyai tersenyum bijak, "Jika niatmu suci,
langit pasti mendengar. Mintalah kepada Allah dengan keyakinan."
Hari
demi hari, Ali semakin mengasah dirinya. Ia ingin menjadi seseorang yang
pantas, bukan hanya untuk Fatimah, tetapi juga untuk agamanya. Hingga suatu
hari, doa-doanya akhirnya mengetuk gerbang takdir. Kyai memanggilnya, membawa
kabar yang membuat dadanya bergetar, orang tua Fatimah menerima lamarannya.
Air
mata Ali jatuh, bukan karena kelemahan, tetapi karena keharuan. Ia mengerti
kini, bahwa cinta sejati adalah yang diperjuangkan dalam diam, disematkan dalam
doa, dan diamanahkan kepada takdir. Kini, ia dan Fatimah akan berjalan bersama,
dalam cinta yang diberkahi dan dalam ilmu yang akan mereka amalkan sepanjang
hayat.
Hari-hari
setelah pernikahan mereka adalah lembaran baru yang penuh makna. Mereka tidak
hanya menjadi sepasang suami istri, tetapi juga sahabat dalam belajar dan
berjuang. Bersama, mereka membuka halaqah kecil di desa, mengajarkan kitab
kuning kepada santri-santri muda yang haus akan ilmu.
Fatimah,
dengan kelembutan dan kecerdasannya, menjadi pendamping yang senantiasa
mendukung Ali. Ia menyadari bahwa cinta yang mereka bangun bukan sekadar ikatan
dunia, tetapi juga perjalanan menuju surga. Mereka saling menguatkan dalam
setiap cobaan, dalam setiap tantangan, dan dalam setiap sujud yang mereka
panjatkan bersama.
Ali, yang dulu hanya bisa memandang Fatimah dari kejauhan, kini melihatnya setiap pagi, dalam senyum yang menjadi cahaya bagi hari-harinya. Dan di sepertiga malam, mereka masih berdoa bersama, bukan lagi dalam harapan yang mengawang, tetapi dalam rasa syukur yang mendalam. Sebab, doa yang tulus selalu memiliki cara sendiri untuk kembali pada hati yang memanjatkannya.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Postingan Populer
Apakah Tunjangan Guru Dipotong Akibat Efisiensi Anggaran? Simak jawabannya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
"Orang Lama Kalah Sama Orang Baru? Ternyata Begini Rahasia di Balik Drama Cinta Ini!"
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
banyakin cerpen kaya gini bg okyyyy
BalasHapus