Langsung ke konten utama

Baca Juga

Bendera One Piece Berkibar di Indonesia: Luffy, Kamu Ngapain di Sini?

Beberapa hari terakhir, media sosial Indonesia mendadak berubah jadi lautan tawa, heran, dan sedikit panik. Soalnya, ada satu tren aneh tapi nyata yang muncul jelang 17 Agustus: bendera One Piece berkibar di mana-mana . Iya, kamu nggak salah baca. Bukan bendera partai, bukan bendera klub bola, tapi bendera bajak laut ala Monkey D. Luffy dan gengnya. Tengkorak bertopi jerami, yang biasa kamu lihat pas Luffy ngomel-ngomel di kapal, sekarang eksis di tiang-tiang rumah warga. Pertanyaannya: ini beneran tren? Atau kru Topi Jerami nyasar ke RW kita? Awalnya cuma satu-dua orang yang nekat masang bendera itu, tapi karena netizen kita punya bakat “copy paste nasional”, akhirnya dalam sekejap mulai bermunculan di mana-mana. Ada yang pasang di truk, ada yang nempel di warung, ada juga yang berdiri gagah berdampingan sama bendera Merah Putih. Kocaknya, ekspresi warga yang lihat itu pun macem-macem, mulai dari yang ngakak, nyinyir, sampai yang mikir, “Eh, ini jangan-jangan pertanda revolusi?” Ta...

Di Antara Tiga Nama dan Lidah yang Membisu

Diantara Tiga Nama dan Lidah yang Membisu

    Ada banyak cara cinta mengungkapkan dirinya—melalui senyuman, melalui tatapan, atau melalui kata-kata yang penuh keberanian. Tapi bagi Rama, cinta hanya hidup di dalam hatinya, terkurung seperti burung dalam sangkar emas yang tak pernah ia buka. Ia mencintai dalam diam, selalu begitu, seolah-olah mengutarakan perasaan adalah sebuah dosa yang tak terampuni.

    Sore itu, kampus sepi seperti kota yang ditinggalkan. Langit berwarna keemasan, menyiramkan cahaya lembut ke taman tempat Rama duduk sendirian. Angin membawa bisikan-bisikan samar dari masa lalu, membawa ingatannya kembali ke tiga nama yang pernah mengisi hatinya: Bunga, Intan, dan Nadia.

    Tiga perempuan, tiga cerita, dan tiga cinta yang tak pernah ia nyatakan. Di antara mereka, Rama menjadi lelaki yang penuh tawa di luar, tetapi penuh ragu di dalam. Ia menyapa mereka dengan ramah, bersikap seperti seorang sahabat, sementara hatinya bergetar setiap kali mendengar suara mereka, melihat senyum mereka, atau sekadar menghirup kehadiran mereka.

    Bunga, gadis dengan kelembutan yang meneduhkan, adalah teman pertama yang membuat Rama memahami arti ketertarikan. Tapi hubungan mereka tak lebih dari persahabatan yang penuh canda. Intan, seorang perempuan yang anggun dan bercahaya, adalah sosok yang membuat Rama merasa kecil di hadapannya, seperti pengagum rahasia yang hanya bisa berdiri di kejauhan. Lalu Nadia, sosok yang penuh energi dan semangat, datang seperti angin segar yang membuat Rama untuk pertama kalinya mencoba, meskipun akhirnya ia tetap kalah oleh rasa takut yang tak berwujud.

    Dan di sanalah Rama kini, terjebak dalam keheningan yang ia ciptakan sendiri. Lidahnya kelu, hatinya membeku, sementara nama-nama itu terus bergema dalam pikirannya, mengingatkan bahwa cinta tak pernah benar-benar menjadi miliknya.

***

     Bunga: Aroma yang Hilang Bersama Angin

    Bunga adalah awal segalanya—sebuah kisah yang tumbuh dengan lembut, seperti mentari yang perlahan naik di cakrawala. Ada kesederhanaan dalam dirinya yang memikat, seperti bunga liar yang tumbuh di tengah padang luas, tanpa meminta perhatian siapa pun. Rambut hitamnya selalu diikat rapi, menambah kesan kuat, namun di balik semua itu ada kelembutan yang Rama kagumi.

    Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbincang tentang dunia dan segala hal yang terlintas di kepala mereka. Setiap senyuman Bunga seperti embun pagi yang mengusap wajah Rama, dan setiap tawa yang keluar dari bibirnya menjadi musik yang menggetarkan hati. Namun, Rama tahu bahwa persahabatan mereka adalah batas yang tak bisa ia langkahi.

    Suatu sore di taman kampus, Bunga berkata, “Aku ingin melanjutkan kuliah di luar kota. Aku tahu itu akan berat, tapi aku harus mengejar mimpiku.”

    Rama hanya tersenyum, menahan segala perasaan yang hampir mengalir. Ia ingin berkata, "Jangan pergi, tetaplah di sini." Tetapi bibirnya terkunci, seperti ada tembok tinggi yang membatasi apa yang bisa ia katakan. Bunga akhirnya pergi, dan kereta yang membawa gadis itu perlahan menjauh. Rama berdiri di stasiun, hanya bisa melihat bayangannya menghilang, membawa aroma yang kini tak lagi bisa ia sentuh.

***

 

    Intan: Kilau yang Tak Terjamah

    Setahun setelah Bunga pergi, Rama bertemu dengan Intan, teman lama dari masa SMA. Intan berbeda, seperti permata yang bersinar terang, dengan segala kesan anggun dan percaya dirinya. Saat pertama kali melihatnya kembali di sebuah seminar kampus, Rama merasa seperti terpesona oleh kilau yang memancar dari dirinya. Intan adalah sosok yang selalu membuat Rama merasa kecil, seperti bintang yang tak bisa ia sentuh meski ia ingin sekali menatapnya lebih lama.

    Mereka mulai berbicara lagi, mengenang masa lalu, berbagi cerita tentang hidup dan harapan-harapan yang belum sempat terwujud. Setiap kali mereka berbicara, ada bagian dari diri Rama yang ingin mengungkapkan perasaannya, tetapi entah mengapa, kata-kata itu selalu terhenti di ujung lidahnya.

    “Aku ingin pergi ke luar negeri, belajar lebih banyak,” kata Intan suatu malam, matanya berbinar.        “Dunia ini luas, Ram. Aku ingin menjadi bagian darinya.”

    Dan seperti biasa, Rama hanya tersenyum. “Aku bangga padamu, Intan. Selalu lakukan yang terbaik,” katanya, meskipun hatinya mengingatkan bahwa ia telah kehilangan kesempatan untuk berkata lebih. Intan akhirnya pergi, dan Rama tahu, ia tak pernah bisa mencapai bintang itu.

 ***

    Nadia: Cahaya yang Hangat di Tengah Ladang

    Kemudian ada Nadia, sosok yang berbeda dari yang lain. Nadia adalah cahaya di tengah kegelapan, seseorang yang membuat Rama merasa seolah-olah dunia bisa lebih indah hanya dengan berada di dekatnya. Mereka bertemu saat program KKN di sebuah desa, dan sejak saat itu, setiap percakapan mereka seolah menyulam benang-benang harapan di hati Rama. Nadia adalah segalanya yang Rama inginkan: penuh semangat, berani, dan selalu ada untuk orang-orang di sekitarnya.

    Namun, meskipun Nadia membuatnya merasa hidup, Rama masih terbungkam. Ia merasa bahwa mungkin Nadia terlalu berharga untuk ia miliki, atau lebih tepatnya, terlalu sibuk dengan mimpinya sendiri untuk memperhatikan rasa yang tumbuh di hati Rama.

    Suatu malam, saat mereka duduk di bawah langit berbintang, Rama memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. “Nadia, aku suka sama kamu,” katanya pelan, suaranya nyaris hilang diterpa angin.

    Nadia menatapnya, lalu tersenyum lembut. “Rama, aku senang kamu bilang begitu. Tapi aku nggak bisa saat ini. Ada banyak yang harus aku lakukan, banyak yang harus aku capai dulu.”

    Rama hanya bisa mengangguk, dan untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lega. Cinta itu tak pernah bisa ia miliki, tapi setidaknya ia berhasil mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam. Dan seperti angin yang menyapu daun-daun kering, Nadia pergi ke tujuannya, meninggalkan Rama dalam keheningan.

 ***

    Akhir yang Tak Pernah Sampai

    Bunga, Intan, dan Nadia. Tiga nama yang pernah mengisi ruang di hatinya, tiga cinta yang selalu terhenti sebelum sempat ia ungkapkan. Rama kini duduk di bangku taman kampus, di bawah langit senja yang mulai gelap. Ia menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang memiliki, tetapi tentang keberanian untuk mengungkapkan perasaan, meskipun itu berarti harus siap untuk kehilangan.

    Namun, meskipun tiga cinta itu tak pernah menjadi miliknya, Rama tahu bahwa ia telah belajar sesuatu yang lebih penting. Suatu hari, mungkin ia akan menemukan keberanian itu, keberanian untuk mencintai tanpa takut akan kehilangan, dan yang lebih penting, keberanian untuk mengungkapkannya.




Komentar