Langsung ke konten utama

Baca Juga

Bendera One Piece Berkibar di Indonesia: Luffy, Kamu Ngapain di Sini?

Beberapa hari terakhir, media sosial Indonesia mendadak berubah jadi lautan tawa, heran, dan sedikit panik. Soalnya, ada satu tren aneh tapi nyata yang muncul jelang 17 Agustus: bendera One Piece berkibar di mana-mana . Iya, kamu nggak salah baca. Bukan bendera partai, bukan bendera klub bola, tapi bendera bajak laut ala Monkey D. Luffy dan gengnya. Tengkorak bertopi jerami, yang biasa kamu lihat pas Luffy ngomel-ngomel di kapal, sekarang eksis di tiang-tiang rumah warga. Pertanyaannya: ini beneran tren? Atau kru Topi Jerami nyasar ke RW kita? Awalnya cuma satu-dua orang yang nekat masang bendera itu, tapi karena netizen kita punya bakat “copy paste nasional”, akhirnya dalam sekejap mulai bermunculan di mana-mana. Ada yang pasang di truk, ada yang nempel di warung, ada juga yang berdiri gagah berdampingan sama bendera Merah Putih. Kocaknya, ekspresi warga yang lihat itu pun macem-macem, mulai dari yang ngakak, nyinyir, sampai yang mikir, “Eh, ini jangan-jangan pertanda revolusi?” Ta...

Cinta yang Tak Pernah Terucap


 

Bagian 1: Pertemuan di Stasiun

    Hari itu, langit mengalirkan hujan rintik yang menari-nari di atas rel kereta. Aku berdiri di sana, di tengah keramaian stasiun yang tak pernah sepi, namun terasa begitu sunyi. Ada sesuatu yang berbeda pagi itu. Mungkin karena aku terlalu lama berada dalam kebingunganku sendiri, atau mungkin karena perasaan yang mulai tumbuh di dalam hati, perasaan yang tak kuerti namanya.

    Aku adalah seorang mahasiswa, biasa pulang ke rumah setiap akhir pekan, melewati stasiun ini yang selalu dipenuhi orang-orang yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Stasiun itu, seperti hidup dengan hiruk-pikuknya, namun selalu ada kesunyian yang menyelimuti jiwaku. Aku tak tahu kenapa, tapi setiap kali kaki ini menginjakkan langkah di sini, ada perasaan aneh yang datang, seperti ada sesuatu yang hilang, atau lebih tepatnya, sesuatu yang belum ditemukan.

    Di tengah keramaian itu, mataku tertumbuk pada sosoknya. Seorang wanita yang duduk dengan tenang di bangku panjang, sendirian. Wajahnya tertutup kerudung hitam yang sederhana, namun entah mengapa aku merasa seperti melihat sesuatu yang lebih dari itu. Mata bulatnya yang tersembunyi di balik kacamata hitam membuatnya terlihat seperti seseorang yang jauh, seorang yang sedang membawa pikirannya ke dunia yang hanya ia mengerti.

    Aku tidak tahu apa yang membuatku terdiam begitu lama menatapnya. Bukan karena wajahnya yang cantik, meski aku tidak bisa menepis pesonanya, tapi lebih pada aura yang ia bawa. Seperti ada sesuatu yang memanggilku, sesuatu yang tak terucapkan, namun terasa begitu nyata.

    Aku, yang biasanya bisa memerhatikan orang di sekitarku tanpa merasa canggung, mendapati diriku sendiri seperti seorang yang kehilangan kata-kata setiap kali mataku bertemu matanya. Aku tahu, ini bukan sekadar pandangan biasa. Tatapan kami seakan saling menyentuh dalam hening, dalam jarak yang tak pernah bisa kami rapatkan. Dia, dengan dunia yang tertutup dalam kerudungnya, dan aku, yang terjebak dalam ruang waktu yang selalu ada di antara kami.

    Aku tidak tahu siapa dia. Mungkin seorang santri yang baru saja menyelesaikan hari-harinya di pesantren, atau mungkin hanya seorang wanita biasa yang ingin pulang ke rumah. Aku hanya bisa menebak-nebak, seperti seorang pengembara yang menatap bintang-bintang di langit dan mencoba mencari tahu rahasia semesta.

    Kereta yang aku tunggu akhirnya datang, dan dia, seperti tanpa sengaja, ikut naik ke gerbong yang sama. Aku merasa dunia seakan sempit, begitu sempit, hingga aku bisa mendengar detak jantungku sendiri yang semakin cepat. Kami berada dalam jarak yang cukup dekat, namun tak ada kata yang keluar dari mulutku. Hanya keheningan yang terasa berat di antara kami. Aku berusaha fokus pada pemandangan luar jendela, mencoba menghindari tatapan matanya yang terasa begitu dalam. Namun, entah mengapa, aku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya.

    Senyap. Hanya itu yang ada. Suasana kereta yang gemuruh pun tak mampu menembus kebisuan yang ada. Dia duduk di kursi seberang, aku di kursi yang berlawanan. Keduanya terasa begitu jauh, meskipun jaraknya tak lebih dari satu langkah kaki.

    Lalu, suara pelan itu datang, seperti bisikan dari dalam hatinya. “Maaf, ini tempat duduk saya.”

    Aku tercekat. Mataku teralihkan, dan untuk pertama kalinya, kata-kata itu datang dari bibirnya, memecah kebisuan di antara kami. Aku yang awalnya terperangah, segera berdiri, meminta maaf, berusaha memperbaiki keadaan. Namun, dia hanya tersenyum lembut dan memberi isyarat untuk duduk kembali.

    “Tak apa,” katanya lagi. “Kamu bisa duduk di sini.”

    Aku duduk kembali, namun kali ini rasanya dunia seakan berbeda. Semua yang sebelumnya terasa begitu jauh, kini terasa dekat, terlalu dekat. Sebuah kenyataan yang menggoreskan rasa canggung di antara kami. Tak ada lagi suara, hanya detak jantung yang seolah ingin bersatu, meski tak bisa diungkapkan.

    Kereta bergerak, mengangkut kami berdua dalam kesunyian yang tak terucapkan. Hanya jendela yang memisahkan kami, dan aku tahu, mungkin inilah takdir yang mengarahkan langkah kami bertemu dalam sekejap, tanpa janji, tanpa kata, namun dengan perasaan yang tak bisa dibohongi.

    Aku kembali menatapnya, kali ini dengan lebih hati-hati. Matanya tertutup kacamata besar yang menutupi sebagian wajahnya. Wajah yang tersenyum ringan, tanpa suara, namun cukup untuk membuat hatiku berdebar kencang. Dan aku tahu, perasaan ini adalah sesuatu yang tak akan pernah terucap, tak akan pernah bisa aku ungkapkan.

    Kereta terus berjalan, membawa kami lebih jauh dari yang kami bayangkan. Dan di dalam kesunyian itu, aku hanya bisa berharap—harap yang tak terungkapkan, berharap bahwa di luar sana, ada kesempatan yang menunggu untuk membuka pintu yang kini tertutup rapat.

    Bersambung...

Komentar

Posting Komentar