Cari Blog Ini
Blog ini adalah dunia kecil tempat cerpen, puisi, dan artikel mencerminkan perjalanan hati dan pikiran. Temukan perspektif baru dalam setiap kata
Baca Juga
Cinta yang Tak Pernah Terucap
Bagian
1: Pertemuan di Stasiun
Hari
itu, langit mengalirkan hujan rintik yang menari-nari di atas rel kereta. Aku
berdiri di sana, di tengah keramaian stasiun yang tak pernah sepi, namun terasa
begitu sunyi. Ada sesuatu yang berbeda pagi itu. Mungkin karena aku terlalu
lama berada dalam kebingunganku sendiri, atau mungkin karena perasaan yang
mulai tumbuh di dalam hati, perasaan yang tak kuerti namanya.
Aku
adalah seorang mahasiswa, biasa pulang ke rumah setiap akhir pekan, melewati
stasiun ini yang selalu dipenuhi orang-orang yang berpindah dari satu tempat ke
tempat lain. Stasiun itu, seperti hidup dengan hiruk-pikuknya, namun selalu ada
kesunyian yang menyelimuti jiwaku. Aku tak tahu kenapa, tapi setiap kali kaki
ini menginjakkan langkah di sini, ada perasaan aneh yang datang, seperti ada
sesuatu yang hilang, atau lebih tepatnya, sesuatu yang belum ditemukan.
Di
tengah keramaian itu, mataku tertumbuk pada sosoknya. Seorang wanita yang duduk
dengan tenang di bangku panjang, sendirian. Wajahnya tertutup kerudung hitam
yang sederhana, namun entah mengapa aku merasa seperti melihat sesuatu yang
lebih dari itu. Mata bulatnya yang tersembunyi di balik kacamata hitam
membuatnya terlihat seperti seseorang yang jauh, seorang yang sedang membawa
pikirannya ke dunia yang hanya ia mengerti.
Aku
tidak tahu apa yang membuatku terdiam begitu lama menatapnya. Bukan karena
wajahnya yang cantik, meski aku tidak bisa menepis pesonanya, tapi lebih pada
aura yang ia bawa. Seperti ada sesuatu yang memanggilku, sesuatu yang tak
terucapkan, namun terasa begitu nyata.
Aku,
yang biasanya bisa memerhatikan orang di sekitarku tanpa merasa canggung,
mendapati diriku sendiri seperti seorang yang kehilangan kata-kata setiap kali
mataku bertemu matanya. Aku tahu, ini bukan sekadar pandangan biasa. Tatapan
kami seakan saling menyentuh dalam hening, dalam jarak yang tak pernah bisa
kami rapatkan. Dia, dengan dunia yang tertutup dalam kerudungnya, dan aku, yang
terjebak dalam ruang waktu yang selalu ada di antara kami.
Aku
tidak tahu siapa dia. Mungkin seorang santri yang baru saja menyelesaikan
hari-harinya di pesantren, atau mungkin hanya seorang wanita biasa yang ingin
pulang ke rumah. Aku hanya bisa menebak-nebak, seperti seorang pengembara yang
menatap bintang-bintang di langit dan mencoba mencari tahu rahasia semesta.
Kereta
yang aku tunggu akhirnya datang, dan dia, seperti tanpa sengaja, ikut naik ke
gerbong yang sama. Aku merasa dunia seakan sempit, begitu sempit, hingga aku
bisa mendengar detak jantungku sendiri yang semakin cepat. Kami berada dalam
jarak yang cukup dekat, namun tak ada kata yang keluar dari mulutku. Hanya
keheningan yang terasa berat di antara kami. Aku berusaha fokus pada
pemandangan luar jendela, mencoba menghindari tatapan matanya yang terasa
begitu dalam. Namun, entah mengapa, aku tak bisa mengalihkan pandanganku
darinya.
Senyap.
Hanya itu yang ada. Suasana kereta yang gemuruh pun tak mampu menembus kebisuan
yang ada. Dia duduk di kursi seberang, aku di kursi yang berlawanan. Keduanya
terasa begitu jauh, meskipun jaraknya tak lebih dari satu langkah kaki.
Lalu,
suara pelan itu datang, seperti bisikan dari dalam hatinya. “Maaf, ini tempat
duduk saya.”
Aku
tercekat. Mataku teralihkan, dan untuk pertama kalinya, kata-kata itu datang
dari bibirnya, memecah kebisuan di antara kami. Aku yang awalnya terperangah,
segera berdiri, meminta maaf, berusaha memperbaiki keadaan. Namun, dia hanya
tersenyum lembut dan memberi isyarat untuk duduk kembali.
“Tak
apa,” katanya lagi. “Kamu bisa duduk di sini.”
Aku
duduk kembali, namun kali ini rasanya dunia seakan berbeda. Semua yang
sebelumnya terasa begitu jauh, kini terasa dekat, terlalu dekat. Sebuah
kenyataan yang menggoreskan rasa canggung di antara kami. Tak ada lagi suara,
hanya detak jantung yang seolah ingin bersatu, meski tak bisa diungkapkan.
Kereta
bergerak, mengangkut kami berdua dalam kesunyian yang tak terucapkan. Hanya
jendela yang memisahkan kami, dan aku tahu, mungkin inilah takdir yang
mengarahkan langkah kami bertemu dalam sekejap, tanpa janji, tanpa kata, namun
dengan perasaan yang tak bisa dibohongi.
Aku
kembali menatapnya, kali ini dengan lebih hati-hati. Matanya tertutup kacamata
besar yang menutupi sebagian wajahnya. Wajah yang tersenyum ringan, tanpa
suara, namun cukup untuk membuat hatiku berdebar kencang. Dan aku tahu,
perasaan ini adalah sesuatu yang tak akan pernah terucap, tak akan pernah bisa
aku ungkapkan.
Kereta
terus berjalan, membawa kami lebih jauh dari yang kami bayangkan. Dan di dalam
kesunyian itu, aku hanya bisa berharap—harap yang tak terungkapkan, berharap
bahwa di luar sana, ada kesempatan yang menunggu untuk membuka pintu yang kini
tertutup rapat.
Bersambung...
Komentar
Postingan Populer
Apakah Tunjangan Guru Dipotong Akibat Efisiensi Anggaran? Simak jawabannya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
"Orang Lama Kalah Sama Orang Baru? Ternyata Begini Rahasia di Balik Drama Cinta Ini!"
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
lanjuttttt
BalasHapus