Cari Blog Ini
Blog ini adalah dunia kecil tempat cerpen, puisi, dan artikel mencerminkan perjalanan hati dan pikiran. Temukan perspektif baru dalam setiap kata
Baca Juga
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Cinta yang Tak Pernah Terucap
Bagian 2: Jejak yang Tersisa
Hari-hari berlalu, dan aku kembali pada rutinitas yang tak
pernah berubah. Setiap minggu, aku pulang ke rumah, menaiki kereta yang sama,
melalui stasiun yang sama, berharap bisa melihatnya lagi, meskipun aku tahu,
mungkin pertemuan itu hanyalah sebuah kebetulan yang takkan terulang. Tapi
hatiku tak bisa bohong, perasaan itu terus menggelisahkan, seakan terperangkap
di ruang yang tak pernah bisa kujelaskan.
Namun, setiap kali aku melangkah ke peron yang penuh, aku
selalu memindai kerumunan, mencari sosoknya, meskipun aku sadar bahwa itu hanya
harapan kosong. Setiap kereta yang datang, setiap detik yang berlalu, aku
merasa semakin jauh darinya, seolah jarak itu semakin membentang, lebih lebar,
lebih luas.
Suatu sore, ketika aku duduk menunggu kereta, aku melihatnya
lagi. Dia berdiri di ujung peron, seperti dulu. Tak ada yang berubah, namun ada
sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa seolah
dunia berhenti berputar sejenak.
Dia masih mengenakan kerudung hitam yang tertata rapi,
kacamata besar yang tetap menutupi sebagian wajahnya, dan tas kecil di
punggungnya. Namun kali ini, pandangannya tidak hanya melintasi aku begitu
saja, seperti yang biasa terjadi. Matanya menatapku lebih lama, seolah
mengenali keberadaanku dengan cara yang tak pernah dia lakukan sebelumnya.
Hatiku berdebar. Apakah aku hanya berkhayal? Apakah aku
hanya mengada-ada? Namun, saat itu, aku tahu, aku tidak bisa lagi hanya diam.
Sesuatu dalam diriku mendorong untuk melangkah, sesuatu yang lebih kuat dari
ketakutan yang selama ini menahanku. Aku harus melakukan sesuatu, entah itu
berhasil atau gagal.
Aku mengangkat langkah, sedikit ragu namun pasti. Dia masih
berdiri di sana, matanya tetap menatapku, dan entah mengapa, aku merasa ada
kenyamanan dalam tatapannya. Seperti ada sebuah pengertian tanpa kata-kata yang
terucap.
"Assalamu’alaikum," aku mencoba memulai
percakapan.
Suara itu keluar begitu saja, seakan membebaskan beban yang
sudah terlalu lama terpendam. Aku bahkan tidak tahu apakah itu akan terdengar
aneh, atau justru membuatnya lebih canggung. Tapi dia hanya tersenyum. Senyum
kecil yang membuat hatiku terasa hangat.
"Wa'alaikumsalam," jawabnya pelan, suaranya
lembut, dan tiba-tiba aku merasa seperti kembali ke masa-masa yang penuh
ketenangan. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Kami berdiri dalam keheningan sesaat, saling memperhatikan,
namun tidak tahu harus berkata apa. Lalu dia memecah diam itu, "Kamu...
mahasiswa, ya?"
Aku terkejut. "Iya, benar. Tapi, kamu... santri?"
Aku bertanya, meskipun sudah bisa menebak jawabannya dari pakaian dan aura yang
ia bawa.
Dia mengangguk pelan. "Iya. Saya baru pulang dari
pesantren, mau balik ke rumah."
Aku tersenyum. Sepertinya, perasaan ini semakin jelas. Ada
kesamaan di antara kami, meskipun kami berjalan di jalan yang berbeda. Namun,
di titik ini, dalam pertemuan yang singkat ini, aku merasa kami saling
terhubung. Tanpa perlu banyak kata, kami memahami bahwa kami adalah dua jiwa
yang sedang melintasi dunia yang sama, dengan cara yang berbeda.
"Tapi, saya baru pertama kali naik kereta
sendiri," katanya lagi, wajahnya sedikit cemas.
Aku tertawa pelan. "Jangan khawatir, kereta ini tidak
akan membawa kamu ke tempat yang salah."
Dia tersenyum, lebih lebar sekarang. Aku bisa merasakan
sedikit kebebasan dalam senyumnya, kebebasan dari ketegangan yang mungkin
selama ini dia bawa. Dan untuk beberapa detik, aku merasa seperti kami bukan
dua orang asing yang bertemu begitu saja, melainkan dua orang yang sudah saling
mengenal, meskipun tak pernah ada kesempatan untuk saling berbicara.
Kereta datang, dan kami berdua melangkah bersama ke dalam
gerbong yang sama. Tidak ada kata-kata lagi yang terucap setelah itu, hanya
langkah kaki yang serempak. Meski kami duduk di kursi yang terpisah, ada
perasaan nyaman yang mengalir. Mungkin karena kami tahu, ini adalah awal dari
sesuatu yang mungkin takkan pernah terungkap, tetapi tetap ada di dalam hati.
Di sepanjang perjalanan itu, aku hanya terdiam, namun
perasaan yang ada tak bisa kuabaikan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar
pertemuan, lebih besar dari kata-kata yang tak terucapkan. Ada sesuatu di
antara kami yang mungkin tak akan pernah kami jelaskan, perasaan yang hanya
bisa dirasakan, tanpa perlu dijelaskan.
Kereta itu bergerak, membawa kami lebih jauh dari yang kami
inginkan. Namun dalam hatiku, aku tahu, meskipun tak ada kata yang keluar,
meskipun kami hanya duduk dalam diam, aku tidak akan melupakan tatapan itu.
Tatapan yang penuh dengan harapan yang tak terucap, dan perasaan yang seakan
terpendam dalam perjalanan yang tak pernah tahu ujungnya.
Bersambung...
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
Apakah Tunjangan Guru Dipotong Akibat Efisiensi Anggaran? Simak jawabannya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
"Orang Lama Kalah Sama Orang Baru? Ternyata Begini Rahasia di Balik Drama Cinta Ini!"
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar