Langsung ke konten utama

Baca Juga

Bendera One Piece Berkibar di Indonesia: Luffy, Kamu Ngapain di Sini?

Beberapa hari terakhir, media sosial Indonesia mendadak berubah jadi lautan tawa, heran, dan sedikit panik. Soalnya, ada satu tren aneh tapi nyata yang muncul jelang 17 Agustus: bendera One Piece berkibar di mana-mana . Iya, kamu nggak salah baca. Bukan bendera partai, bukan bendera klub bola, tapi bendera bajak laut ala Monkey D. Luffy dan gengnya. Tengkorak bertopi jerami, yang biasa kamu lihat pas Luffy ngomel-ngomel di kapal, sekarang eksis di tiang-tiang rumah warga. Pertanyaannya: ini beneran tren? Atau kru Topi Jerami nyasar ke RW kita? Awalnya cuma satu-dua orang yang nekat masang bendera itu, tapi karena netizen kita punya bakat “copy paste nasional”, akhirnya dalam sekejap mulai bermunculan di mana-mana. Ada yang pasang di truk, ada yang nempel di warung, ada juga yang berdiri gagah berdampingan sama bendera Merah Putih. Kocaknya, ekspresi warga yang lihat itu pun macem-macem, mulai dari yang ngakak, nyinyir, sampai yang mikir, “Eh, ini jangan-jangan pertanda revolusi?” Ta...

Cinta yang Tak Pernah Terucap

 


Bagian 3: Jejak yang Terhapus

Kereta itu terus melaju, menempuh perjalanan menuju stasiun berikutnya. Aku terdiam, hanya mendengar deru mesin yang semakin bising, namun pikiranku jauh melayang. Hatiku begitu gelisah, namun ada sebuah perasaan yang aneh, perasaan yang hanya aku rasakan setiap kali aku melihatnya. Wanita itu, Nuha, duduk beberapa baris di depanku, mengenakan kerudung hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Sesekali, dia melirik keluar jendela, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang aku kenali. Ada jarak yang lebih dalam dari sekadar perbedaan kami.

Mungkin ini hanya perasaan yang muncul karena ketidakpastian. Mungkin ini hanya khayalanku. Tetapi aku tahu, ada sesuatu yang berbeda dalam cara kami saling menatap. Ada sebuah keterhubungan yang tak terungkapkan. Waktu yang terus berjalan, dan aku semakin merasa semakin terjebak di antara kerumitan ini. Apa yang aku rasakan bukan sekadar ketertarikan biasa, bukan sekadar ketemu kebetulan. Aku merasa seperti ada yang menghalangiku untuk membuka mulut, ada rasa takut yang mencekikku, takut jika kata-kata yang keluar tidak cukup untuk menjelaskan apa yang ada dalam hatiku.

Kereta memasuki stasiun berikutnya. Aku tahu rumahku semakin dekat, dan ini akan menjadi titik pertemuan terakhir kami, setidaknya untuk saat ini. Aku sudah siap untuk turun dan mengakhiri kebingunganku. Namun saat pintu kereta terbuka, aku melihat Nuha berdiri dan bersiap-siap untuk keluar. Langkahnya cepat, namun entah mengapa, saat matanya bertemu dengan mataku, aku merasakan seakan ada hal yang belum selesai, sesuatu yang ingin diungkapkan, tapi kami tak tahu bagaimana cara memulainya.

Aku berdiri, mencoba mengikuti langkahnya, namun suara keras pengumuman kembali mengisi ruang kereta.

“Stasiun berikutnya: Jakarta. Bagi penumpang tujuan Jakarta, harap segera bersiap-siap.”

Aku merasa jantungku berdebar. Waktu yang tinggal begitu sedikit. Inilah momen yang bisa mengubah semuanya, saat di mana aku bisa melangkah mendekat dan mengatakan apa yang seharusnya dikatakan. Tapi aku takut. Takut jika perasaanku hanya akan menjadi beban baginya.

Nuha berhenti di dekat pintu kereta, siap untuk turun. Aku masih terpaku di tempatku, merasa bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Saat itulah, tanpa diduga, dia menoleh dan melihatku dengan tatapan yang penuh arti. Matanya seakan ingin berkata sesuatu, tetapi mulutnya terbungkam rapat.

Aku hanya bisa berdiri diam, seperti ada sesuatu yang menghalangi kata-kataku. Ketika dia menyadari bahwa aku tak akan berkata apapun, dia mulai melangkah keluar. Namun, di saat yang hampir bersamaan, Nuha berhenti dan menoleh, senyumnya kali ini jauh lebih lebar daripada sebelumnya. Ada perasaan hangat yang menyelimuti hatiku.

“Saya… senang bisa bertemu denganmu,” katanya dengan pelan, hampir terdengar seperti bisikan. Lalu, dia melangkah pergi tanpa menunggu jawaban.

Aku terdiam, jantungku berdebar begitu keras. Tidak ada waktu untuk bertanya lebih banyak. Tidak ada kesempatan untuk menjelaskan apa yang aku rasakan. Semua yang tersisa hanyalah keraguan, dan kesedihan yang mengalir begitu cepat dalam dadaku. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa dia harus pergi begitu saja?

Kereta mulai bergerak. Aku hanya berdiri di sana, memandangi tubuhnya yang semakin menjauh, dan aku tahu, kali ini pertemuan itu benar-benar berakhir. Aku merasakan kekosongan yang mendalam. Tak ada kesempatan untuk mengatakan apapun.

Namun, tiba-tiba, aku merasakan sesuatu di saku jaketku. Sebuah kertas kecil yang terlipat. Aku membuka lipatan itu dengan tangan yang gemetar. Di atas kertas itu hanya tertulis satu kalimat.

"Nanti malam, di stasiun yang sama. Aku menunggumu."

Tangan ku serasa kaku membaca tulisan itu. Mataku terbelalak. Itu tulisan tangannya. Tapi bagaimana bisa? Dia sudah pergi, kan? Mengapa ada pesan seperti ini?

Aku terdiam, sejenak merasakan gejolak dalam diri. Semua keraguan, kebingunganku, tak bisa lagi disembunyikan. Ada janji yang ditinggalkan, janji yang tersembunyi dalam selembar kertas yang kini ada di tanganku.

 

Malam itu, aku kembali ke stasiun yang sama. Aku datang dengan perasaan yang campur aduk. Apakah ini benar-benar sebuah pertemuan yang tak terucapkan, ataukah semuanya hanya ilusi yang aku buat sendiri? Saat aku tiba di peron, stasiun itu terasa sepi, tidak seperti biasanya. Tak ada orang yang terlihat, hanya lampu-lampu yang temaram, dan suara langkah kaki yang mengalun pelan.

Aku melangkah ke sisi peron yang biasanya kami lewati bersama. Namun tak ada satupun yang terlihat. Tak ada jejak langkahnya, tak ada bayang-bayang Nuha. Aku menunggu, mencoba percaya bahwa ini bukanlah khayalanku semata. Waktu terus berlalu, dan rasa cemas mulai menggelayuti hati.

Hingga tiba-tiba, aku mendengar suara langkah dari belakang. Aku menoleh, dan mataku terperangah. Nuha muncul dari dalam keramaian.

Tapi, ada sesuatu yang sangat berbeda. Wajahnya yang dulu lembut kini tampak penuh kerutan, matanya yang biasanya tenang kini dipenuhi kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Dia berjalan cepat, namun langkahnya tampak terburu-buru. Matanya menatapku, dan aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggunya. Sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perasaan antara kami.

Sebelum aku sempat bertanya, dia mengangkat tangannya dan berkata, “Aku… aku harus pergi,” suaranya serak, seperti baru saja menangis. “Aku bukan siapa-siapa bagimu. Maafkan aku.”

Aku terkejut, tak tahu harus berkata apa. “Nuha, apa maksudmu? Kenapa kamu…”

Namun, sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, dia berbalik, menghilang dalam kerumunan, tanpa meninggalkan jejak.

Aku berdiri di sana, terpaku, jantungku terasa sesak. Apa yang terjadi? Mengapa dia mengatakan itu? Aku mencoba mengejarnya, namun dia sudah hilang di balik bayang-bayang stasiun yang semakin sepi. Tidak ada jawaban, tidak ada penjelasan. Hanya sebuah janji yang mengambang di udara.

Cinta yang tak pernah terucap, mungkin memang harus tetap seperti itu, terkubur dalam ketakutan dan keraguan. Akankah aku pernah tahu alasan di balik semua ini? Mungkin tidak. Tetapi aku tahu, perasaan itu akan tetap ada, seperti kenangan yang tak akan pernah hilang.

 

Tamat

Kadang-kadang, kita bertemu dengan seseorang yang mampu mengubah hidup kita, meskipun tak pernah ada kata-kata yang terucap. Namun, ada kalanya pertemuan itu menjadi terlalu rumit untuk dipahami, terlalu terlambat untuk dijelaskan.

Komentar