Cari Blog Ini
Blog ini adalah dunia kecil tempat cerpen, puisi, dan artikel mencerminkan perjalanan hati dan pikiran. Temukan perspektif baru dalam setiap kata
Baca Juga
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Cinta yang Tak Pernah Terucap
Bagian
3: Jejak yang Terhapus
Kereta
itu terus melaju, menempuh perjalanan menuju stasiun berikutnya. Aku terdiam,
hanya mendengar deru mesin yang semakin bising, namun pikiranku jauh melayang.
Hatiku begitu gelisah, namun ada sebuah perasaan yang aneh, perasaan yang hanya
aku rasakan setiap kali aku melihatnya. Wanita itu, Nuha, duduk beberapa baris
di depanku, mengenakan kerudung hitam yang menutupi sebagian wajahnya.
Sesekali, dia melirik keluar jendela, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang
aku kenali. Ada jarak yang lebih dalam dari sekadar perbedaan kami.
Mungkin
ini hanya perasaan yang muncul karena ketidakpastian. Mungkin ini hanya
khayalanku. Tetapi aku tahu, ada sesuatu yang berbeda dalam cara kami saling
menatap. Ada sebuah keterhubungan yang tak terungkapkan. Waktu yang terus
berjalan, dan aku semakin merasa semakin terjebak di antara kerumitan ini. Apa
yang aku rasakan bukan sekadar ketertarikan biasa, bukan sekadar ketemu
kebetulan. Aku merasa seperti ada yang menghalangiku untuk membuka mulut, ada
rasa takut yang mencekikku, takut jika kata-kata yang keluar tidak cukup untuk
menjelaskan apa yang ada dalam hatiku.
Kereta
memasuki stasiun berikutnya. Aku tahu rumahku semakin dekat, dan ini akan
menjadi titik pertemuan terakhir kami, setidaknya untuk saat ini. Aku sudah
siap untuk turun dan mengakhiri kebingunganku. Namun saat pintu kereta terbuka,
aku melihat Nuha berdiri dan bersiap-siap untuk keluar. Langkahnya cepat, namun
entah mengapa, saat matanya bertemu dengan mataku, aku merasakan seakan ada hal
yang belum selesai, sesuatu yang ingin diungkapkan, tapi kami tak tahu
bagaimana cara memulainya.
Aku
berdiri, mencoba mengikuti langkahnya, namun suara keras pengumuman kembali
mengisi ruang kereta.
“Stasiun
berikutnya: Jakarta. Bagi penumpang tujuan Jakarta, harap segera bersiap-siap.”
Aku
merasa jantungku berdebar. Waktu yang tinggal begitu sedikit. Inilah momen yang
bisa mengubah semuanya, saat di mana aku bisa melangkah mendekat dan mengatakan
apa yang seharusnya dikatakan. Tapi aku takut. Takut jika perasaanku
hanya akan menjadi beban baginya.
Nuha
berhenti di dekat pintu kereta, siap untuk turun. Aku masih terpaku di
tempatku, merasa bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Saat itulah, tanpa
diduga, dia menoleh dan melihatku dengan tatapan yang penuh arti. Matanya
seakan ingin berkata sesuatu, tetapi mulutnya terbungkam rapat.
Aku
hanya bisa berdiri diam, seperti ada sesuatu yang menghalangi kata-kataku.
Ketika dia menyadari bahwa aku tak akan berkata apapun, dia mulai melangkah
keluar. Namun, di saat yang hampir bersamaan, Nuha berhenti dan menoleh,
senyumnya kali ini jauh lebih lebar daripada sebelumnya. Ada perasaan hangat
yang menyelimuti hatiku.
“Saya…
senang bisa bertemu denganmu,” katanya dengan pelan, hampir terdengar seperti
bisikan. Lalu, dia melangkah pergi tanpa menunggu jawaban.
Aku
terdiam, jantungku berdebar begitu keras. Tidak ada waktu untuk bertanya lebih
banyak. Tidak ada kesempatan untuk menjelaskan apa yang aku rasakan. Semua yang
tersisa hanyalah keraguan, dan kesedihan yang mengalir begitu cepat dalam
dadaku. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa dia harus pergi begitu saja?
Kereta
mulai bergerak. Aku hanya berdiri di sana, memandangi tubuhnya yang semakin
menjauh, dan aku tahu, kali ini pertemuan itu benar-benar berakhir. Aku
merasakan kekosongan yang mendalam. Tak ada kesempatan untuk mengatakan
apapun.
Namun,
tiba-tiba, aku merasakan sesuatu di saku jaketku. Sebuah kertas kecil yang
terlipat. Aku membuka lipatan itu dengan tangan yang gemetar. Di atas kertas
itu hanya tertulis satu kalimat.
"Nanti
malam, di stasiun yang sama. Aku menunggumu."
Tangan
ku serasa kaku membaca tulisan itu. Mataku terbelalak. Itu tulisan tangannya.
Tapi bagaimana bisa? Dia sudah pergi, kan? Mengapa ada pesan seperti ini?
Aku
terdiam, sejenak merasakan gejolak dalam diri. Semua keraguan, kebingunganku,
tak bisa lagi disembunyikan. Ada janji yang ditinggalkan, janji yang
tersembunyi dalam selembar kertas yang kini ada di tanganku.
Malam
itu, aku kembali ke stasiun yang sama.
Aku datang dengan perasaan yang campur aduk. Apakah ini benar-benar sebuah
pertemuan yang tak terucapkan, ataukah semuanya hanya ilusi yang aku buat
sendiri? Saat aku tiba di peron, stasiun itu terasa sepi, tidak seperti
biasanya. Tak ada orang yang terlihat, hanya lampu-lampu yang temaram, dan
suara langkah kaki yang mengalun pelan.
Aku
melangkah ke sisi peron yang biasanya kami lewati bersama. Namun tak ada
satupun yang terlihat. Tak ada jejak langkahnya, tak ada bayang-bayang Nuha.
Aku menunggu, mencoba percaya bahwa ini bukanlah khayalanku semata. Waktu terus
berlalu, dan rasa cemas mulai menggelayuti hati.
Hingga
tiba-tiba, aku mendengar suara langkah dari belakang. Aku menoleh, dan mataku
terperangah. Nuha muncul dari dalam keramaian.
Tapi,
ada sesuatu yang sangat berbeda. Wajahnya yang dulu lembut kini tampak penuh
kerutan, matanya yang biasanya tenang kini dipenuhi kegelisahan yang tak bisa
disembunyikan. Dia berjalan cepat, namun langkahnya tampak terburu-buru.
Matanya menatapku, dan aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggunya.
Sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perasaan antara kami.
Sebelum
aku sempat bertanya, dia mengangkat tangannya dan berkata, “Aku… aku harus
pergi,” suaranya serak, seperti baru saja menangis. “Aku bukan siapa-siapa
bagimu. Maafkan aku.”
Aku
terkejut, tak tahu harus berkata apa. “Nuha, apa maksudmu? Kenapa kamu…”
Namun,
sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, dia berbalik, menghilang dalam
kerumunan, tanpa meninggalkan jejak.
Aku
berdiri di sana, terpaku, jantungku terasa sesak. Apa yang terjadi? Mengapa
dia mengatakan itu? Aku mencoba mengejarnya, namun dia sudah hilang di
balik bayang-bayang stasiun yang semakin sepi. Tidak ada jawaban, tidak ada
penjelasan. Hanya sebuah janji yang mengambang di udara.
Cinta
yang tak pernah terucap, mungkin memang harus tetap seperti itu, terkubur dalam
ketakutan dan keraguan. Akankah aku pernah tahu alasan di balik semua ini?
Mungkin tidak. Tetapi aku tahu, perasaan itu akan tetap ada, seperti kenangan
yang tak akan pernah hilang.
Tamat
Kadang-kadang, kita bertemu dengan seseorang yang mampu mengubah hidup kita, meskipun tak pernah ada kata-kata yang terucap. Namun, ada kalanya pertemuan itu menjadi terlalu rumit untuk dipahami, terlalu terlambat untuk dijelaskan.- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
Apakah Tunjangan Guru Dipotong Akibat Efisiensi Anggaran? Simak jawabannya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
"Orang Lama Kalah Sama Orang Baru? Ternyata Begini Rahasia di Balik Drama Cinta Ini!"
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar